.: Dengan Menyebut Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang :.

Thursday, August 11, 2011

AKU YANG MEMINTA


        "Kak......” panggilku manja, “Apakah kakak mencintaiku?"
Seperti biasa, suamiku hanya tersenyum mendengar pertanyaanku, "Tidakkah kakak terpikir akan ada wanita lain selain aku. Yang akan memberikan kakak seorang anak. Aku cuma seorang wanita yang mandul."

Suamiku kaget mendengar pertanyaanku kali ini. "Mengapa Rahmah menanyakan itu?"
       "Sampai sekarang aku belum bisa memberikanmu seorang anakpun."  Aku memberikan alibi sambil hampir menangis.
       "Kita sudah konsultasi dengan dokter, sudah periksa dan tidak ada masalah. Kita hanya perlu berdoa dan bersabar," jawabnya sambil meraihku dalam pelukannya. Kurebahkan kepalaku perlahan dalam dadanya. Aku masih ingin menikmati saat-saat seperti ini. Aku belum rela jika harus membaginya dengan wanita lain.
        Tapi, aku masih penasaran dengan jawabannya. Aku masih belum yakin. Tujuh tahun kami menikah tanpa anak, mana mungkin dia tidak pernah terpikir untuk menikah lagi. "Bukankah poligami dihalalkan. Allah telah berfirman bahwa seorang laki-laki boleh menikahi perempuan lain dua, tiga, atau empat?"
       "Engkau pasti tahu kelanjutan dari firman Allah tersebut. Lebih baik satu orang saja jika kamu tidak bisa berlaku adil. Lagian, Rahmah nggak mau kan lihat kakak dihari kiamat, jalan kakak miring hingga hampir jatuh kan hahaha."  Tawa suamiku menyadarkanku bahwa aku tak perlu cemburu. Aku harus terus percaya dengan kesetiaannya, dengan kasih sayangnya yang hanya untukku.
                                                      * * *
        Mimpi yang sama. Tiga malam berturut-turut aku mimpi yang sama. Suamiku dengan wanita lain. Dia terlihat bahagia. Dia duduk di pelaminan menggunakan pakaian yang sama seperti ketika tujuh tahun yang lalu menikah denganku. Tapi, wanita di sampingnya itu bukan aku. Aku tidak mengenalnya. Kucoba memutar memori di kepalaku. Apakah aku pernah melihat wanita dimimpiku itu sebelumnya. Mungkin salah satu temannya. Tapi, aku tidak juga mampu mengingatnya.
       Apakah ini jawaban dari Allah atas sujud-sujud panjangku selama ini. Tangis di malam-malam sepiku memohon diberikan seorang anak, menumpahkan segala kerinduanku akan hadirnya seorang anak yang akan meramaikan rumah ini, membahagiakan hati ini dengan tawa riangnya. Seorang anak yang dengan kehadirannya bisa melepaskanku dari gunjingan orang-orang yang membicarakan kemandulanku. Seorang anak yang bisa kuajak bercanda, kuajak bermain, kubacakan cerita, kubelikan baju yang cantik, dan yang paling penting bisa kupamerkan pada orang-orang bahwa aku bisa punya anak, aku mampu melahirkan anak.
      Kulihat jam di HP ku. Pukul 02.45. Mungkin Allah membangunkan lewat mimpi tadi agar aku kembali mengingat-Nya. Agar aku kembali menyungkurkan diriku dalam sujud panjang dan tangisku. Mungkin Allah kembali merindukan rintihanku permohonanku. Tapi kali ini ada kepasrahan dalam sujudku. Ada ketundukan, ada keikhlasan, ada kepatuhan atas takdir yang telah dituliskan Allah untukku. Mungkin Allah telah menunjukkan jalan lewat mimpi-mimpiku bagaimana cara agar aku bisa memberikan kebahagiaan kepada suamiku dengan hadirnya seorang anak, walaupun bukan dari rahimku. Ada rasa sedih, ada rasa tidak rela jika suamiku mempunyai anak dari wanita lain. Sementara aku istrinya tidak mampu. Tapi jika inilah cara aku bisa membahagiakan suamiku, akan kuterima takdir ini dengan segala kesabaran. Aku tahu dengan jalan ini mungkin suamiku akan mengurangi kasih sayangnya padaku, akan lebih sering bersama istri dan anak-anaknya nanti. Tangisku semakin menjadi. Ikhlaskan aku ya Allah. Ikhlaskan aku jika inilah takdir-Mu.
                                                                     * * *
       Semalaman aku pusing memikirkan siapa teman yang akan kukenalkan pada suamiku. Tiba-tiba aku teringat Rina, temanku akrabku waktu SMA. Dia seorang janda. Setahuku dia punya seorang anak perempuan yang cantik. Pilihan yang tepat.
       Waktu yang ditunggu-tunggu pun tiba. Rina datang bersama anaknya. Anak perempuan yang sangat lucu. Rambutnya ikal dengan  ikat rambut warna pink. Pipinya bulat, matanya jernih, mata tanpa dosa. Aku yakin suamiku langsung jatuh hati dengan anak itu. Dia kan memang paling suka sama anak-anak. Tapi yang kuharapkan berbeda dengan kenyataan. Suamiku yang awalnya terlihat senang dengan kedatangan Tia, si gadis mungil itu, tiba-tiba mukanya langsung ditekuk begitu aku memuji-muji Rina didepannya. Tampaknya dia langsung merasa apa yang jadi tujuanku. Hari yang benar-benar kacau. Rina pulang dengan perasaan kurang nyaman, dan kemarahan suamiku yang paling menakutkanku.
       "Apa maksudmu memuji-muji kecantikan dan kebaikan temanmu itu? Siapa namanya? Ada perlu apa kamu mengundang dia ke rumah kita. Ada perlu apa sebenarnya. Jawab!" Aku tercekat mendengar perkataanya. Belum pernah dia semarah ini sebelumnya. Aku hanya diam. Aku pasrah. Tapi aku sangat takut melihatnya.
      "Apa kamu sudah tidak menghargai aku lag. Kamu hendak menjodohkan aku, suamimu ini dengan wanita itu. Seorang janda. Apa kamu tidak menginginkan kehadiranku lagi dirumah ini. Kalau begitu, aku pergi sekarang!" dengan nada tinggi dia meluapkan kemarahannya. Kemarahan yang tidak pernah kuduga sebelumnya, kemarahan yang tidak perlu ada menurutku.
     "Dar!" suara bantingan pintu depan terdengar begitu keras dan mengagetkanku yang masih bingung dengan kejadian yang barusan terjadi.  Ya Allah, apa ada yang salah dengan keinginanku. Begitu susahkah membuka pintu hati suamiku untuk wanita lain selain aku.
                                                               * * *
      Sejak peristiwa hari itu, aku tak pernah lagi menyinggung masalah perjodohan suamiku. Aku trauma. Biarlah Allah saja yang mengatur jalan hidup kami. Dalam setiap sholatku, tak pernah lupa kumohonkan kebaikan buat kami semua, terutama buat suamiku. Aku sangat mencintainya, dan aku tak pernah punya niat untuk menyakitinya, apalagi membuatnya marah. Aku hanya ingin membuatnya bahagia.
      Hari itu, tidak seperti biasanya suamiku pulang dengan baju penuh darah. Aku sangat terkejut dengan kedatangannya. Dan bajunya yang penuh darah itu sungguh-sungguh membuatku sangat khawatir. Ya Allah, apa yang terjadi dengannya. Tapi kata-katanya kemudian membuatku mengerti apa yang sebenarnya terjadi.
     "Rahmah, tolong kamu segera berkemas dan siapkan pakaianku. Kita ke rumah sakit sekarang, Tia kecelakaan."
     Tidak sampai  tiga puluh menit kemudian kami telah berada di rumah sakit. Aku melihat Rina dalam keadaan yang sangat kusut. Dia langsung menangis ketika melihat kedatanganku.
     "Tia...........,Tia kecelakaan, aku nggak tahu bagaimana keadaanya sekarang. Dia masih belum sadar. Tadi untung ada suamimu yang menolongnya."  Rina menumpahkan tangisnya dalam pelukanku.
     "Sabar, insya Allah Tia akan baik-baik saja. Kita berdoa saja ya." Aku mencoba menenangkannya.
Suasana menunggu dengan keadaan yang sama sekali belum pasti memang sangat tidak menyenangkan, penuh kekakuan, diam, bergelut dalam pikiran masing-masing. Ada doa yang tulus terucap, ada cemas, ada khawatir, ada harap. Semua hanya Allah yang akan memberi kepastian, bahwa Allah pasti akan memberikan keputusan yang terbaik.
     "Ada orang tuanya Tia?'”, suara perawat dari ruang pintu UGD mengejutkan kami semua.
     "Iya. Saya"  jawab Rina penuh tanya.
Lama berselang ketika Rina masuk kedalam. Aku dan Kak Lutfi menunggu dengan penuh harap dan cemas. Semoga keadaan Tia baik-baik saja.
     Tak lama kemudian Rina keluar dari ruang UGD, wajahnya terlihat cerah. "Alhamdulillah, Tia selamat. Dia sudah siuman, hanya perlu istirahat."
                                                       * * *
     Sejak peristiwa kecelakaan itu, sudah tak terhitung berapa kali suamiku mengajak aku berkunjung kerumah Rina dengan dalih menengok keadaan Tia. Dia sudah benar-benar jatuh cinta dengan anak itu. Bahkan di waktu pertemuan kami yang singkat pun, bukan sekali dua kali dia menceritakan tentang Tia. Ada cemburu sesungguhnya karena dia tak pernah lagi menanyakan keadaanku, tak perduli lagi dengan batukku yang akhir ini semakin menjadi, tak peduli lagi dengan nafsu makanku yang kurasakan semakin berkurang, tak peduli lagi dengan badanku yang kurasa semakin ringan, tak peduli lagi dengan sakit kepala yang semakin sering kurasa. Dia kini sibuk dengan dirinya sendiri. Sibuk dengan kerinduannya akan kehadiran seorang anak. Dan aku tak pernah ingin menggangunya, apalagi dengan masalahku yang sangat sepele ini.
     Dan malam ini aku ingin melengkapi kebahagiaannya, aku ingin menyempurnakan senyumnya agar dia bisa selalu tertawa lepas seperti ketika dia bersama Tia, walau aku tahu itu adalah kesedihan tak berujung buatku, nestapa yang pasti akan terus menyiksaku, duka yang pasti akan terus membuat tangisku, asal dia bisa terus tersenyum karena itu adalah kebahagiaan yang sempurna untukku.
     "Kak, maukah kakak memenuhi permintaanku. Sekali ini saja. Nikahilah Rina. Insya Allah dia akan memberikan Engkau anak-anak secantik Tia."
     "Tapi bagaimana denganmu Rahmah. Kakak memang selalu ingin bersama Tia, bermain dengannya, tertawa bersamanya, tapi bukan dengan Rina, tapi denganmu." Dia memandangku penuh kasih, penuh cinta, dan aku selalu merasa damai melihat bening mata itu.
    "Aku juga pasti bahagia. Tia akan bisa lebih sering disini, bisa juga menemaniku ketika ibunya bekerja."  Aku mendustai hatiku, aku mencoba tersenyum, senyum keterpaksaan ditengah tangis yang hampir tak sanggup kutahan.
    "Aku pasti akan melakukan apapun yang menbuatmu bahagia Rahmah. Aku akan segera menikahi Rina. Maukah kau mengkhitbah dia untukkku?". Dia menggenggam tanganku. Dan air mata ini akhirnya tumpah, menyisakan rasa sakit, hatiku semakin rasa teriris, perih.
    "Pasti."  jawabku mantap.
                                                            * * *
     Malam ini sempurna sudah tugasku sebagai istri, mencarikan seorang wanita sholehah untuk suamiku. Tugas yang sangat berat, dan ini sangat terpaksa kulakukan karena ketidakmampuanku. Langkahku sekarang terasa begitu ringan ketika Rina bersedia disunting kak Lutfi menjadi maduku. Tanggal pernikahan telah ditetapkan, satu minggu kemudian, bertepatan dengan ulang tahun Tia yang ke-tiga.
      Berbagai persiapan pernikahan menjadikan aku semakin sibuk. Suamiku mempercayakan semua urusan pernikahannya kepadaku, termasuk masalah gedung dan baju pengantin. Dia selalu beranggapan bahwa pernikahan ini adalah kebahagiaan buatku, padahal ini adalah kesedihan. Bagaimana airmataku mengalir begitu deras ketika aku memilih baju pengantin yang akan dipakai suamiku dan maduku ketika akad nikah mereka yang semakin dekat. Dan, sakitku semakin parah. Aku hampir tak sanggup lagi menahan berat tubuhku. Dan aku memang tak sadar lagi........
     Gelap. Kepalaku masih terasa berputar, tapi wajah suamiku langsung menyadarkanku.     "Rahmah, bagaimana keadaaanmu?". Oh, suamiku, masihkah engkau mengkhawatirkanku, bukankah sekarang sudah ada Rina yang segera akan menggantikanku, yang akan menemani malammu. Dan mungkin tak lama lagi engkau akan melupakan aku. Aku begitu cemburu, suamiku, seandainya engkau tahu.
     "Rahmah baik-baik saja. Mungkin hanya lelah. Huk huk.” Batukku kembali menyiksaku, sakit di tenggorokanku, bahkan sudah beberapa hari ini mengeluarkan darah. Aku merasa lemah sekali. Tulangku kurasa tak mampu lagi menopang tubuhku. Tubuhku benar-benar tak berdaya.
     "Rahmah, kakak tidak ingin meninggalkanmu lagi. Kakak hanya ingin bersamamu, menemanimu disini." Ah, suamiku mengapa semakin kau hancurkan hatiku dengan pernyataanmu, mengapa kau masih memberi harapan bahwa hanya akan ada aku selamanya di hatimu. Sekarang sudah ada Rina, dialah yang nanti akan bersemayam di hatimu. Biarkan aku sendiri, biarkan aku terbiasa sepi. Pergilah! Pergilah! jeritku dalam hati.
     Kak Lutfi menggenggam tanganku erat. Aku merasakan dia begitu takut kehilanganku. Ya Allah, jangan biarkan tangisku kembali pecah. Aku sungguh mencintainya, dengan seluruh hati dan perasaanku, dengan seluruh jiwaku. Malam ini kami habiskan bersama. Malam terakhir, sebelum dia nanti, tidak lagi hanya menjadi suamiku, dia juga akan menjadi suami Rina, sahabatku.
    "Kak, bangunlah, pulanglah. Persiapkan dirimu. Maaf, aku tidak bisa mendampingimu. Aku titip salam buat Rina. Aku doakan semoga keluarga yang akan kakak bangun sekarang barokah." Doaku tulus, setulus-tulusnya. Saat ini aku hanya ingin kau bahagia, jangan pedulikan aku.
     "Rahmah, aku pergi, tapi aku janji akan segera kembali," kak Lutfi mencium keningku. Dan aku tahu, kau masih mencintaiku, dan aku tahu tak mudah bagimu untuk membagi cintamu. Maafkan aku, telah menbuatmu bimbang memilih jalan ini. Dia ragu, kembali menoleh kepadaku sebelum akhirnya menghilang di balik pintu.
     Kepergiannya kali ini, bukan hanya menyakitkan di hati, di dada, bahkan menjalar sampai ke seluruh tubuhku. Tubuhku terasa panas, sakit seperti ditusuk ribuan jarum. Dan sakit semakin menusuk di kepalaku. Kepalaku rasa ingin terlepas dari tubuhku. Ya Allah, sakit sekali. Asyhadu Ala Ilaha Illallah, wa..........
                                                            * * *
Catatan Lutfi
Tanah pekuburan masih basah. Aku tak percaya kau meninggalkan aku begitu cepat, tanpa sempat aku meminta maaf, telah sering menyakiti hatimu. Meninggalkanku ketika aku sedang mengucap ijab qobul, ketika aku menuruti keinginanmu untuk menikah lagi. Maafkan aku Rahmah. Engkau begitu baik, bahkan saat ajal akan menjemputmupun engkau masih sempat menitipkanku pada temanmu, yang kau yakini akan memberikan kebahagiaan buatku. Semoga Allah akan menyayangimu selalu seperti aku yang selalu menyayangimu, selalu meridhoimu. Semoga jannah Allah menunggumu karena engkau adalah istri yang sholehah. Aku akan selalu mencintaimu sampai kapanpun, sepanjang umurku.

5 comments:

kang bedjo said...

bagus ya .....

Anonymous said...

gak kebayang gimana perasaan kita jika mendapat takdir seperti ini.. sedih, sakit... nice post bunda Rohmah^^

kuparkir said...

menurut saya ini bukan cerpen, ini cerita indah untuk dibaca

rifqi said...

hadewww.. saya ndak tau.. apa bs kek Rahmah ato nggak.. mempersilahkan suami menikah lg hiks..

Diah said...

Bu Tini... ternya nge-blog juga :-) Tukeran link yook... Salam buat keuarga yaa