.: Dengan Menyebut Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang :.

Saturday, August 10, 2013

NGAMBEK

Pagi ini seperti biasa, aku menyiapkan menu sarapan sekaligus makan siang. Bukan suatu
yang mudah buat seorang ibu rumah tangga merangkap seorang wanita pekerja untuk menyiapkan
pergantian menu setiap hari, dan belum lagi masih harus dibatasi oleh persediaan di warung
yang kadang tidak sesuai dengan daftar menu yang telah susah payah dirancang malam sebelumnya.
Dengan segala keterbatasan, jadilah menu untuk hari ini adalah teri goreng tepung, cumi kuah,
sambal terong, dan tumis buncis.Semua masakan hampir telah tersaji dengan
sempurna. Teri goreng tepung sejak awal telah masak, dan sejak awal telah jadi bahan cemilan
hangat buat suamiku tercinta. Cumi kuah pun telah sangat menantang untuk segera disantap,
sudah terbayang di lidahku gurih bumbunya yang berwarna hitam itu. Tumis buncis dan sambal
terong masih terjerang di atas api, ketika tiba-tiba suamiku dengan tenang memanggil
ibu penjual nasi uduk.
“Bu, uduk ya” teriak suamiku tanpa rasa bersalah,
“Neng, mau beli uduk nggak?” Tanya suamiku padaku.


Dengan nada cemberut kujawab pertanyaan suamiku dengan nada ketus, “Nggak!”
Kuharap suamiku mengerti dengan nada kerasku, tapi dengan cueknya dia tetap mengambil piring
dan membeli nasi uduk lengakap dengan tempe goreng, kerupuk dan telur dadarnya. Kulirik sekilas
nasi uduk di tangan suamiku, tampak enak sekali, apalagi aku sedang hamil, rasanya semua makanan
yang dimakan orang terasa nikmat di lidahku. Tapi aku ingin suamiku
tahu, aku sedang marah, bisa-bisanya dia membeli nasi uduk setelah aku berlelah-lelah
memasak dan menyiapkan makan.
Kumatikan kompor dengan sayur dan sambal yang belum masak, masuk kamar, mengunci diri, dan
bercucuranlah air mata ku. Sedih, kesal, aku merasa betul-betul tidak dihargai.
Bangun subuhku rasanya percuma, lebih baik aku berdiam di bawah selimut
merah hangatku daripada berdingin-dingin pergi ke warung jika akhirnya tak ada yang
akan memakan masakanku.
“Neng, kok masakannya belum selesai kompornya sudah dimatiin!”
tanya suamiku dari arah dapur. “Capek, Mas……….” Pelan sakali suaraku, sambil terisak aku keluar menemui suamiku,
“Mas, buat apa aku masak kalau tidak ada yang akan memakannya.
Buang saja sekalian. Mas kan punya banyak uang untuk terus membeli makan di luar.
Toh, masakanku juga nggak enak dimakan. Aku capek!”
Dasar! Aku melihat suamiku cuma tersenyum, tanpa dosa. “Oh, jadi lagi ngambek nih,
ntar cepet tua lo kalau marah-marah”
“Biarin!”
“Semalam kan aku nggak makan jadi aku tadi sudah sangat kelaparan,
mosok nggak boleh beli nasi uduk,”
tukang rayu, pinternya emang ngegombal.
“Nggak makan? Semalam bukannya sudah makan mie semangkok, dan menghabiskan satu porsi somay.
Emang nggak kenyang?” Heran juga aku dengan perut suamiku ini.
“Tapi kan nggak makan nasi. Nanti aku makan lagi yah setelah menghabiskan nasi uduk ini,
kan kalau nggak dimakan jadi mubazir.” Matanya mengedip genit, sambil mencubit hidungku.
Sambil tersenyum dengan mulut masih menciut, kuselesaikan masakanku. Ah, suamiku…

1 comment:

mas tony said...

tulisannya bagus mbak, teruskan siapa tahu bisa di bukukan tinggal send ke penerbit